Penghasilan Rendah dan Pendidikan Minim Picu Risiko Stunting, Kutim Siapkan Program Pemulihan Terintegrasi


ringkasmedia.net, kutim - Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menegaskan bahwa risiko stunting tidak hanya berkaitan dengan persoalan gizi anak, tetapi lebih kompleks dan berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi keluarga. 

Berdasarkan hasil pendataan by name by address keluarga berisiko stunting (KRS), sebagian besar keluarga yang masuk kategori risiko berada pada kelompok desil 1–4, yaitu keluarga dengan tingkat kesejahteraan terendah.

Temuan lapangan menunjukkan banyak keluarga dalam kategori desil 1–4 mengalami permasalahan seperti tidak memiliki pekerjaan tetap, bekerja serabutan, berpendidikan rendah, dan minim keterampilan untuk memasuki dunia kerja. 

Keterbatasan tersebut berdampak langsung pada kemampuan keluarga menyediakan sanitasi layak, air bersih, dan pemenuhan nutrisi, yang akhirnya memunculkan potensi stunting pada anak.

Untuk memutus rantai risiko tersebut, Pemkab Kutim menerapkan program pemulihan terintegrasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD). 

Setiap OPD diarahkan melakukan intervensi sesuai penyebab risiko yang tercatat di sistem pendataan KRS.

Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) menjadi salah satu sektor strategis yang didorong bergerak melalui program rekrutmen tenaga kerja perusahaan. 

Tujuannya adalah membuka peluang kerja formal dan meningkatkan pendapatan keluarga berisiko. 

“Kalau penghasilan keluarga meningkat, daya beli membaik, dan kebutuhan dasar terpenuhi, maka risiko stunting otomatis menurun,” ujar Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kutim, Ahmad Junaedi, Jum’at (28/11/28).

Intervensi pendidikan keterampilan juga diperkuat melalui Bidang PAUD dan Pendidikan Non Formal (PNF) dengan menyediakan Program Pendidikan Kecakapan Kerja (PKK), Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW), serta layanan Paket A, B, dan C gratis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia keluarga KRS. 

Selain itu, pelatihan teknis melalui Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) disiapkan untuk membantu masyarakat memiliki kompetensi kerja sesuai kebutuhan pasar.

Menurut Ahmad Junaedi, penanganan berbasis data menjadi kunci keberhasilan program lintas sektor ini. “Perencanaan program pemerintah harus tepat sasaran dan berbasis data KRS, kalau program OPD ditembakkan sesuai kebutuhan keluarga, maka dampaknya langsung dirasakan dan tidak ada bantuan yang sia-sia,” tegasnya.

Langkah pemulihan terintegrasi ini juga diyakini akan memberikan dampak jangka panjang daripada hanya mengandalkan bantuan jangka pendek. 

Upaya peningkatan pendapatan, akses pendidikan, dan kemampuan kerja keluarga berisiko bukan hanya mengurangi risiko stunting saat ini, tetapi mencegah risiko pada generasi berikutnya.

Pendekatan dari hulu ini diharapkan mampu membangun masyarakat yang lebih sehat, sejahtera, dan mandiri secara ekonomi.(ADV)

0 Komentar